Kamis, 20 November 2014

Pengertian nilai dan etika dalam pekerjaan sosial


A.     Defenisi Nilai dan Etika

Nilai (value) berasal dari bahasa Latin, yaitu valere yang artinya, “menjadi kuat”, atau menjadi terhormat
Soetarso  mengatakan bahwa nilai adalah kepercayaan, pilihan, atau asumsi tentang yang baik untuk manusia. Nilai bukan menyangkut keadaan dunia ini atau apa yang diketahui pada saat ini, tetapi bagaimanakah seharusnya atau sebaiknya dunia ini.
Namun, apabila dihubungkan dengan pekerjaan sosial, maka nilai yang dimaksud disini adalah seperangkat prinsip etik/moral yang fundamental dimana pekerja sosial harus berkomitmen. Misalnya, dalam pekerjaan sosial ada nilai untuk menghargai keunikan dan perbedaan, privacy, menjaga kerahasiaan, dan perlindungan (dalam Huda, 2009:135-136).
Jika nilai berbicara tentang sesuatu yang baik dan buruk maka etika (ethics) terkait benar (right) atau salah (wrong). Jadi, etika bersifat eksplisit dan konkret. Secara bahasa, etika memiliki pengertian yang sama dengan moralitas.
Menurut Keraf (1998:14), moralitas berasal dari kata Latin mos, (jamaknya mores) yang artinya ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Sedangkan etika sendiri berasal dari kata ethos (jamaknya ta etha) yang juga berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Perbedaannya adalah dalam konteks tertentu etika dapat dipahami secara lebih luas daripada moralitas. Sebab etika dapat dipahami sebagai filsafat moral, yaitu suatu ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma
B.     Sejarah dan Perkembangan
Dalam sejarah dan perkembangannya, nilai dalam pekerjaan sosial menapaki beberapa tahapan perkembangan (Reamer, 1999:5; dalam Huda, 2009:138-141):
1. Dimulai pada akhir abad XIX (Abad 19) suatu masa ketika pekerjaan sosial belum resmi disebut sebagai profesi. Selama masa ini pekerjaan sosial cenderung fokus tentang apa yang dianggap bermoral dan tidak bermoral dari seorang klien ketimbang fokus kepada moral atau etika profesi dan praktisi.

2. Tahapan ini dimuali pada awal abad XX suatu era progresif dalam pekerjaan sosial yang ditandai dengan berdirinya settlement house pada akhir abad XIX. Settlement house adalah suatu organisasi sosial yang bergerak lebih humanis untuk mereformasi lingkungan dan sistem daripada melakukan perbaikan terhadap manusianya. Nilai yang berkembang dalam tahapan ini pun bergeser dari masalah moral menyangkut klien kepada kebutuhan untuk melakukan reformasi sosial yang disesain untuk mengurangi berbagai permasalahan sosial. Misalnya, berkaitan dengan perumahan, perawatan kesehatan, sanitasi, pengangguran, kemiskinan, dan pendidikan.

3. Tahapan ini dimulai pada akhir tahun 1940-an dan awal 1950-an. Nilai yang berkembang pada masa ini cenderung mengedepankan nilai-nilai atau etika yang berkaitan dengan profesionalisme pekerjaan sosial. hal ini berbeda jika dibandingkan dengan masa sebelumnya yang cenderung menonjolkan nilai dan moralitas yang berkaitan dengan klien. Ini adalah pergeseran penting yang terjadi dalam sejarah perkembangan nilai dalam pekerjaan sosial. kondisi ini dapat dimengerti karena pada masa ini pekerjaan sosial telah menjadi profesi tersendiri, sehingga aktivitas pertolongan dilakukan dengan memegang pronsip-prinsip profesionalisme tertentu. Pada masa ini juga pekerjaan sosial muali mengadopsi kode etik, yaitu sebuah prinsip-prinsip nilai dan etika yang harus di pegang dan dipatuhi oleh para pekerja sosial. adapaun nilai-nilai yang berkembang pada periode ini misalnya, martabat dan kehormatan, keunikan, harga diri seseorang, self-determination, keadilan, dan persamaan.

4. Pada tahun 1960-an nilai yang berkembang pada masa ini menonjolkan konstruk etik tentang keadilan sosial, hak, dan reformasi. Setting kehidupan sosial dan ekonomi global yang makin kompleks menuntut pergeseran nilai yang harus ditegakkan oleh profesi pekerjaan sosial. Maka dari itu, nilai tentang persamaan sosial, hak kesejahteraan, hak asasi manusia, diskriminasi, dan penindasan menjadi tema-tema nilai dominan yang berkembang pada masa ini. Tetapi bukan berarti pergeseran nilai ini menghapuskan nilai-nilai yang ada pada tahapan sebelumnya, sebab sifat perkembangan nilai dalam hal ini adalah saling melengkapi satu sama lain.

C.     Peran Nilai dan Etika dalam Pekerjaan Sosial

Pentingnya peranan nilai dan etika dalam pekerjaan sosial menjadikan keduanya sebagai salah satu fondasi pengetahuan mendasar yang harus dimiliki oleh pekerja sosial. tidak mungkin aktivitas pertolongan dapat menjadi suatu profesi spesialis tanpa adanya pengetahuan bahwa menolong orang adalah nilai yang baik. Ketika menolong orang dianggap sebagai suatu nilai yang baik, maka secara etis perilaku digerakka untuk menolong seseorang yang membutuhkan karena itu adalah kebenaran. Keyakinan-keyakinan tentang sesuatu yang baik menuntut pekerja sosial untuk melakukannya karena perbuatan tersebut adalah benar. Sebaliknya, keyakinan-keyakinan mengenai sesuatu yang buruk mencegah pekerja sosial sehingga menghindarinya karena perbuatan tersebut adalah salah. Nilai dan etika pada akhirnya menjadi kunci petunjuk terhadapa perbuatan baik buruk atau benar salah. Keyakinan tentang nilai yang benar juga berperan sebagai petunjuk bagi pekerja sosial untuk memutuskan suatu perkara ketika terjadi dilema etis dalam melakukan intervensi sosial (dalam Huda, 2009:141-142).

             D.    Bentuk Nilai dan Etika dalam Pekerjaan Sosial

Ada bermacam-macam nilai dan etika dalam pekerjaan sosial. Namun, secara umum dapat dilihat dari kode etik NASW (National Association of Social Worker) antara lain (Reamer, 1999:26-27; dalam Huda, 2009:142-145):
1. Pelayanan (nilai)
Prinsip etiknya adalah pekerja sosial harus mengutamakan tujuan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan dan memusatkan pada permasalahan sosial. prinsip pelayanan diletakkan diatas kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan. Melayani klien baik individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat merupakan kewajiban dari pekerja sosial yang harus diutamakan. Tanpa prinsip pelayanan, pekerjaan sosial tidak memiliki aktivitas profesional
2. Keadilan Sosial (nilai)
Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial wajib untuk menentang ketidakadilan sosial. Tujuan inti pekerjaan sosial adalah menuju perubahan sosial yang lebih humanis dan mengarah kepada kesejahteraan sosial. ketidakadilan sosial maupun penindasan yang terjadi dalam masyarakat menjadi tanggung jawab pekerja sosial untuk mengubah keadaan tersebut.
3. Harkat dan Martabat Seseorang (nilai)
Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial menghormati harkat dan martabat seseorang. Pekerjaan sosial merupakan profesi yang melibatkan diri langsung baik dalam setting individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat. Oleh sebab itu, setting keterlibatan langsung ini menuntut dari para peker sosial untuk memiliki modal nilai yang menghargai orang lain dalam melakukan interaksi sosial.
4. Mementingkan Hubungan Kemanusiaan (nilai)
Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial mengakui dan mengutamakan hubungan kemanusiaan. Hubungan kemanusiaan (human relationship) adalah unsur yang sangat penting di dalam proses perubahan sosial. maka dari itu, menjunjung tinggi hubunga kemanusiaan dan kemasyarakatan harus dilakukan untuk mendukung perubahan sosial agar berjalan secara positif. Hubunga kemanusiaan adalah bagian dari proses pertolongan.
5. Integritas (nilai)
Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial harus mempunyai perilaku yang dapat dipercaya. Dalam batas tertentu, profesi pekerja sosial adalah seperti dokter, ‘mengobati’ dan ‘menyembuhkan’ individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang sedang sakit. Tanpa adanya perilaku yang dapat dipercaya, pekerja sosial tidal dapat menjalankan profesi tersebut dengan baik. Integritas setidaknya ditunjukkan dengan konsistensi pekerja sosial dengan misi profesional, nilai, dan prinsip etika, dan standar etika dalam aktivitas pertolonga yang dilakukannya.
6. Kompetensi (nilai)
Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial harus mempraktikkan keahlian profesionalismenya dalam proses pertolongan yang dilakukan. Dalam hal ini pengetahuan dan skill yang memadai harus dimiliki oleh pekerja sosial untuk menunjang kompetensi dari pekerja sosial. tanpa adanya kompetensi tersebut menjadikan pekerja sosial tidak dapat profesional dan mencapai tujuannya dengan baik. Sehingga adanya pengetahuan dan keahlian yang memadai juga menjadi dasar kepemilikan yang sangat penting dalam profesi pekerjaan sosial.

Sumber:
Huda, Miftachul. 2009. Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Pengantar. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Unsur-Unsur Dalam Dakwah

Unsur-unsur dakwah adalah komponen-komponen yang terdapat dalam setiap kegiatan dakwah. Ada pun unsur-unsur tersebut Ialah:

A.     Da’i (Pelaku dakwah)

                 Nasaruddin Lathief mendevenisikan Bahwa dai adalah Muslim dan Muslimat yang menjadikan dakwah sebagai suatu amaliah pokok.
Seorang dai hendaklah mengetahui cara menyampaikan dakwah tentang Allah, alam semesta, dan kehidupan, sereta apa yang dihadirkan dakwah untuk memberi solusi, terhadap problema yang di hadapi manusia, juga cara-cara yang dihadirkannya untuk menjadikan agar pemikiran dan prilaku manusia tidak salah dan tidak melenceng .

B.      Mad’u (Penerima dakwah/Audient)

Mad’u adalah manusia yang menjadi sasaran dakwah, atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama islam maupun tidak; dengan kata lain manusia secara keseluruhan.Kepada manusia yang belum beragama islam adlah bertujuan untuk mengajak mereka mengikuti agama islam; sedangkan kepada orang-orang islam adalah untuk meningkatkan lagi kualitas iman, islam, dan ihsan.
Secara umum Al-Qur’an menjelaskan ada tiga tipe mad’u, yaitu : mukmin , kafir, dan munafik .

C.      Maddah (Materi Penyampaian Dakwah)

Maddah adlah isi pesan atau meteri yang di sampaikan Da’i kepada Mad’u. Secara umum materi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi empat masalah pokok, yaitu:

1.   Masalah akidah (Keimanan)
2. Masalah syariah (Hukum)
3. Masala muamalah (hubungan social)
4. Masalah Akhlak (Tingkah laku)

D.     Wasilah (Media Dakwah)

            Wasilah/media dakwah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan ajaran islam kepada umat, Hamzah Ya’qup membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu:

1. lisan (berpidato, ceramah, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya)
2. Tulisan (karya tulis,majalah, Surat kabar,dan sepanduk)
3. Lukisan (gambar dan Karikatur)
4. Audiovisual (televisi,radio, internet dan sebagainya)
5. Akhlak (melalui perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran islam yang secara    langsung dapat dilihat dan didengarkan oleh mad’u).

E.      Thariqah (Metode dakwah)

            Metode adalah suatu cara yang di tempuh atau cara yang ditentukan secara jelas untuk mencapai dan menyelesaikan suatu tujuan, rencana sistem, tata pikir manusia .
Metode dakwah adalah jalan atau cara yang di pakai juru dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah islam.
Secara garis besar ada tiga pokok metode dakwah, yaitu:

1. Bi al-Hikmah, yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah      dengan menitik beratkan pada kemampuan mereka, sehingga mudah di mengerti dan mereka tidak merasa bosan dan apa yang da’i sampaikan.
2. Mau’izatul Hasanah, yaitu berdakwah dengan memberikan nasihat-nasihat atau menyampaikan ajaran islam dengan rasa kasih sayang (lemah lembut), sehingga apa yang disampaikan dai tersebut bisa menyentuh hati si madu.
3. Mujadalah Billati Hiya Ahsan, yaitu berdakwah dengan cara bertukar fikiran atau tanya jawab. Dengan ini dai bisa mengetahui apa yang menjadi pertanyaan oleh sekelompok orang/individu tentang suatu masalah dalam kehidupan.

F.        Atsar (Efek)

            Dalam setiap aktifitas dakwah pasti akan menimbulkan efek atau reaksi. Artinya jika dakwah telah dilakukan oleh seorang dai dengan materi dakwah, Wasilah dan Thariqah tertentu maka akan timbul respon dan efek pada si Mad’u.
Atsar [efek] sering di sebut dengan Feedback [umpan balik] dari proses dakwah ini sering dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da’i. Kebanyakan mereka menganggap bahwa setelah berdakwah, maka selesailah dakwah,. Padahal, atsar sangat besar artinya dalam penentuan langkah-langkah dakwah berikutnya.

2.      HUBUNGAN ANTAR UNSUR-UNSUR DAKWAH

supaya proses dakwah berjalan dengan sempurna maka seorang dai harus menggunakan metode,materi serta Media yang tepat.
Seorang Dai harus mempunyai Materi yang sesuai dengan situasi dan kondisi mad’u, yang mana dalam Penyampaian materi, si Dai hendaklah menggunakan metode-metode pokok bagi seorang Dai.
Setelah Proses Penentuan materi serta Metode-metodenya terlaksana maka seorang Dai Bisa melaksanakan Dakwahnya melalui media, Baik itu Media lisan tulisan dan sebagainya. Apabila seorang dai telah melakukan tahapan-tahapan di atas maka yang terakhir adalah Proses Evaluasi terhadap dakwah yang di sampaikannya, bagaimana respon ataupun Feedback dari madu.
Evaluasi dan koreksi terhadap efek dakwah harus dilaksanakan secara radikal dan komprehensif, artinya tidak secara parsial atau setengah-setengah. Seluruh kompenen sistem (unsur-unsur) dakwah harus di evaluasi secara keseluruhan. Para dai harus mempunyai jiwa terbuka untuk melakukan pembaharuan dan perubahan. Jika proses evaluasi telah menghasilkan beberapa keputusan, maka segera diikuti dengan tindakan korektif (corrective action). Dan jika proses ini telah dapat terlaksana dengan baik, maka terciptalah mekanisme perjuangan dalam bidang dakwah, dan inilah yang di sebutkan dalam agama dengan sebutan ikhtiar insani .
Jadi, dalam proses penyampaian ajaran agama islam maka si dai harus sangat memperhatikan unsur-unsur dakwah guna mewujudkan efektifitas dalam penyampaian supaya si madu bisa menerima dan mengaplikasikan ajaran-ajaran agama yang telah di sampaikan oleh si Dai tersebut dalam kehidupannya.

PENUTUP
2. Kesimpulan


Unsur-unsur dakwah ialah suatu komponen atau bagian yang terdapat dalam setiap kegiatan dakwah.hubungan antar unsur-unsur tersebut sangat menentukan efektifitas dan Efisiensi dalam penyampain dakwah.
Unsur-unsur Dakwah:
Da’i, Mad’u, Maddah, Wasilah, Thariqah, dan Atsar.

Kesemuanya ini sangat erat hubungannya dalam proses penyampaian dakwah. Apabila salah satu dari komponen tersebut tidak di perhatikan maka prose penyampaian dakwah tidak akan efektif dan sempurna.