Rabu, 04 Februari 2015

Tinta Mahyuddin Metode Metode Penafsiran Al-Quran

METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN 


A.   Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan salah satu wahyu yang berupa kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an yang berupa kalam Allah ini merupakan kitab atau wahyu yang istimewa dibandingkan dengan wahyu-wahyu yang lainnya. Bahkan salah satu keistimewaannya adalah tidak ada satu bacaan-pun sejak peradaban baca tulis dikenal lima ribu tahun yang lalu, yang dibaca baik oleh orang yang mengerti artinya, maupun oleh orang yang tidak mengerti artinya.
Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Qur’an diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar. Keberadaan al-Qur’an sangat dibutuhkan oleh manusia. Di dalam al-Qur’an terdapat petunjuk hidup yang sangat dibutuhkan oleh manusia sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Petunjuk yang ada dalam al-Qur’an memang terkesan masih bersifat umum dan global, maka dari itu perlu penjabaran dari hadits. Di samping itu, akal manusia juga harus mengolah petunjuk dan hukum yang ada dalam al-Qur’an, karena al-Qur’an diturunkan dan diperuntukkan bagi orang yang berakal. Sejalan dengan hal tersebut, Quraish Shihab menjelaskan, al-Qur’an sebagai wahyu, merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Al-Qur’an tidak dapat dipahami hanya dengan membaca atau menerjemahkannya saja. Untuk memahami al-Qur’an diperlukan ilmu penafsiran atau pena’wilan al-Qur’an tersebut. Karena biasanya terdapat kata-kata atau ayat-ayat yang sulit dipahami jika hanya dengan membacanya. Penafsiran terhadap al-Qur’an dilakukan sejak zaman Nabi masih hidup sampai masa kontemporer ini. Dan itupun tidak berhenti sampai di sini. Al-Qur’an walaupun dikaji sepanjang masa, tetaplah tidak didapat pemahaman secara sempurna. Karena itulah kemu’jizatan al-Qur’an yang hal itu menunjukkan bahwa al-Qur’an tersebut bukan buatan manusia.
Berbagai metode tafsir berkembang mulai dari zaman dahulu hingga sekarang, mulai dari yang sederhana sampai yang khusus pada disiplin ilmu tertentu. Perkembangan metode penafsiran tersebut sejalan dengan penafsiran yang dilakukan oleh manusia. Sehingga muncullah empat metode dasar penafsiran, yaitu ijmalimuqarintahlili, dan maudhu’i. Keempat metode tersebut mempunyai karakteristik dan langkah-langkah yang berbeda dalam penerapannya. Maka dari itu, Kami akan membahas secara terperinci mengenai metode-metode tersebut dalam karya yang berjudul “Metodologi Penafsiran al-Qur’an”.

B.     Pengertian Metodologi Tafsir

Metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode penafsiran al-Qur’an. Dapat dibedakan antara metode tafsir dan metodologi tafsir. Metode tafsir adalah cara-cara menafsirkan al-Qur’an. Sedangkan metodologi tafsir adalah ilmu tentang cara penafsiran al-Qur’an. Pembahasan secara teoritis dan ilmiah mengenai metode muqarin (perbandingan), upamanya disebut analisis metodologis. Namun jika pembahasan itu  berkaitan dengan cara penerapan metode itu terhadap ayat-ayat al-Qur’an, hal itu disebut pembahasan metode. Adapun cara penyajian atau memformulasikan tafsir-tafsir tersebut disebut teknik atau seni menafsirkan. Jadi, metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan seni atau tekniknya adalah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang tertuang di dalam metode. Adapun metodologi tafsir adalah pembahasan tentang metode-metode penafsiran.

C.     Perkembangan Metodologi Tafsir

Sejarah mencatat, penafsiran al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini didukung oleh adanya fakta sejarah yang menyebutkan bahwa Nabi pernah melakukannya. Pada saat sahabat beliau tidak memahami maksud dan kandungan salah satu isi kitab suci al-Qur’an, mereka menanyakan kepada Nabi. Dalam konteks ini, Nabi memang berposisi sebagai mubayyin (penjelas terhadap segala persoalan umat). Penafsiran-penafsiran yang dilakukan Nabi ini memiliki sifat-sifat dan karakteristik tertentu, diantaranya penegasan makna (bayan al-ta’kid); perincian makna (bayan tafshil), perluasan dan penyempitan makna; kualifikasi makna, serta pemberian contoh. Sedangkan dari segi motifnya, penafsiran Nabi SAW terhadap ayat-ayat al-Qur’an mempunyai tujuan-tujuan: pengarahan (bayan Irsyad), peragaan (tathbiq), pembetulan (bayan tashhih) atau koreksi.
Sepeninggal Nabi, kegiatan penafsiran al-Qur’an tidak berhenti, malah boleh jadi semakin meningkat. Munculnya persoalan-persoalan baru seiring dengan dinamika masyarakat yang progresif mendorong uimat Islam generasi awal mencurahkan perhatian yang besar dalam menjawab problematika umat. Perhatian utama mereka tertuju kepada al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, maka upaya-upaya penafsiran terus dilakukan. Dalam penafsiran pada masa itu, pegangan mereka adalah riwayat-riwayat yang dinukilkan dari Nabi.
Penafsiran-penafsiran yang dilakukan para sahabat di atas, pada pembahasan selanjutnya nanti dikenal dengan tafsir bi al-ma’tsur. Tafsir yang disebut terakhir ini mendasarkan pembahasan dan sumbernya pada riwayat. Cara ini kemudian dikenal sebagai sebuah metode penafsiran al-Qur’an yang disebut dengan metode riwayah. Sebagai perimbangana dari metode ini timbullah metode lainnya, yaitu tafsirbi al-ra’yi yang mendasarkan sumbernya pada penalaran ijtihadi. Dari dua metode ini, nantinya lahir metode-metode lain yang menyebabkan metodologi penfsiran al-Qur’an berkembang.
Metode-metode yang dimaksud adalah metode tahlili, metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i. Hal yang perlu dicatat ialah pada masa Nabi dan sahabat, tafsir al-Qur’an masih menggunakan metodeijmali (global). Hal tersebut menunjukkan bahwa metode yang paling awal digunakan adalah metodeijmali, sebab pada waktu itu, Nabi dan Sahabat belum memberikan tentang ayat secara rinci dan mendetail.

   1.   Metode Tahlili (Analisis)

Metode tahlili adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam al-Qur’an yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat tersebut. Tafsirtahlili ialah mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat, dan surat demi surat sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmani. Untuk itu, pengkajian metode ini, kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki. Sasaran yang dituju dan kandungan ayat menjelaskan apa yang dapat diistinbatkan dan serta mengemukakan kaitan ayat-ayat dan relevansinya, dengan surat sebelum dan sesudahnya. Untuk itu, ia merujuk kepada sebab-sebab turun ayat, hadits-hadits Rasulullah saw dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in. Tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini.
Dari segi bentuknya, tafsir tahlili bisa dibagi ke dalam dua pembagian:
Tafsir bi al-Ma’tsur,
Tafsir bi al-Ma’tsur yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan sunnah, al-Qu’an dengan pendapat sahabat Nabi SAW, dan al-Qur’an dengan perkataan tabi’in.
Tafsir bi al-Ra’yi,
Tafsir bi al-Ra’yi yaitu penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad terutama setelah seorang mufasir itu betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al-nuzul, nasikh mansukh dan hal-hal yang lain yang lazim diperlukan oleh seorang mufasir. Ulama salaf berkeberatan menerima status penafsiran model ini, kalau tidak ada dasar yang shahih.
Tafsir bi al-Ra’yi dapat diterima apabila:
1)      Menjauhi sikap yang terlalu berani menduga-duga kehendak Allah di dalam kalam-Nya tanpa memiliki persyaratan sebagai seorang mufassir.
2)      Memaksakan diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah
3)      Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu
4)      Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan madzhab semata.
5)      Menghindari penafsiran pasti (qath’i) di mana seorang mufasir tanpa alasan mengklaim bahwa itulah yang dimaksudkan Allah.
Dari segi coraknya, tafsir tahlili dapat dibagi menjadi 5:
1.      Tafsir Shufi
Penafsiran yang dilakukan oleh kaum sufi pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang sufi dan orang yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasawuf. Diantara kitab tafsir sufi ini adalah kitab tafsir al-Qur’an al-’Adzim karangan imam al-Tusturi.
2.      Tafsir Fiqih
Penafsiran al-Qur’an yang dilakukan (tokoh) suatu madzhab untuk dapat dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya. Tafsir fiqih ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih karangan imam-imam dari berbagai madzhab yang berbeda, sebagaimana kita temukan sebagian ulama yang mengarang kitab tafsir fiqih adalah kitab ahkam al-Qur’an karangan al-Jasshash.
3.      Tafsir Falsafi
Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab ini adalah kitabmafatih al-Ghaib yang dikarang oleh Fakhr al-Razi. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat dalam mengemukakan dalil-dalil yang didasarkan pada ilmu-ilmu kalam dan semantik (logika).
4.      Tafsir Ilmi
Penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan mengaitkan dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang. Diantara kitab tafsir ini adalah kitab al-Islam Yata’adda, karangan al-’Alamah Wahid al-Din Khan
5.      Tafsir Adabi
Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan segi balaghah al-Qur’an dan kemu’jizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam dan tatanan-tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir adabi merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur’an. Diantara kitab tafsir adabi adalah kitab tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

   2.   Metode Ijmali (Global)

Metode ijmali adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Metode ijmali (Global) menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an. Dengan demikian ciri dan jenis tafsir ijmali ini mengikuti urutan ayat menurut tertib mushaf seperti halnya tafsirtahlili. Perbedaannya dengan tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili, makna ayatnya diuraikan secara terperinci dengan tinjauan dari berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang lebar.
Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
Sebagai contoh adalah penafsiran yang dilakukan oleh Jalalain dalam tafsirnya terhadap 5 ayat pertama surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat ringkas dan global hingga tidak diberi rincian atau penjelasan yang memadai.
Penafsiran alif lam mim misalnya hanya ditafsiri dengan Allah Maha Tahu maksudnya. Demikian pula kata al-kitab hanya ditafsiri dengan yang dibacakan oleh Muhammad. Dan begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran 5 ayat selesai hanya dalam beberapa baris saja. Sedangkan tafsir tahlili untuk menjelaskan 5 ayat membutuhkan 7 halaman.

   3.   Metode Muqaran (Perbandingan)

Metode tafsir ini menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir al-Qur’an. Tafsir al-Muqaran adalah suatu metode tafsir al-Qur’an yang membandingkan ayat al-Qur’an satu dengan yang lainnya, serta membandngkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an. Kemudian ia menjelaskan bahwa diantara mereka ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya, ada diantara mereka yang menitikberatkan pada bidang nahwu yakni, segi-segi i’rab seperti imam al-Zarkasyi. Ada corak penafsirannya ditentukan oleh kecenderungan pada bidang balaghah, seperti Abd al-Qahhar al-Jurjani dalam kitab tafsirnya I’jaz al-Qur’an, dan Ubaidah Ma’mur ibn al-Mutsanna dalam kitab tafsirnya al-Majaz, dimana ia memberi perhatian pada penjelasan ilmu ma’ani, bayan, badi’ , haqiqat, dan majaz, dimana ia memberi perhatian pada penjelasan ilmu ma’ani, bayan, badi’, haqiqat dan majaz.
Seorang mufassir dengan metode muqaran dituntut harus mampu menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang ia kemukakan, lalu ia harus mengambil sikap menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh rasionya, serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya, sehingga pembaca merasa puas. Selain rumusan yang dikemukakan di atas, metode tafsir muqaran juga mempunyai pengertian dan lapangan yang luas, yaitu membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah (kasus) atau ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi yang tampaknya (lahiriyahnya) berbeda serta mengkompromikan dan menghilangkan dugaan adanya pertentangan antara hadits-hadits Nabi tersebut dan kajian-kajian ilmu yang sangat berharga yang dengan itu akan tampak jelas kelebihan dan profesionalisme seorang mufassir pada bidangnya dengan kemampuan menggali makna-makna al-Qur’an yang belum berhasil diungkapkan penafsir lainnya.

   4.   Metode Maudhu’i (Tematik)

Di samping tafsir dengan pola umum, tafsir yang mengkaji masalah-masalah khusus secara tematik juga berjalan. Ibn al-Qayyim menulis kitab al-Tibyan fi aqsam al-Qur’an , Abu Ubaidah menulis kitab tentang majaz al-Qur’an, al-Raghib al-Asfahani melahirkan Mufradat al-Qur’an, Abu Ja’far al-Nahas menulis kitab al-Nasikh wa al-Mansukh, Abu Hasan al-Wahidi menulis asbab al-Nuzul dan Abu al-Jashash menulis Ahkam al-Qur’an. Dalam konteks modern, studi al-Qur’an semakin meluas dan kompleks, sehingga tidak satupun ayat-ayat al-Qur’an yang terlepas dari penafsiran dengan pola tematiknya.
Metode tematik ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti Asbab al-Nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadits maupun pemikiran rasional.
Jadi dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas dalam al-Qur’an, misalnya ia mengkaji dan membahas doktrin tauhid di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, ayat-ayat pendidikan, manajemen dan kepemimpinan dalam al-Qur’an bahkan spirit culture kepemimpinan yang ada dalam al-Qur’an yang itu semua bisa menjadi bahan tesis atau bahkan disertasi.
Quraish Shihab mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai dua pengertian, pertama,penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan yang lainnya dan juga dengan tema tersebut. Sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat dalam al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu. Lebih lanjut, Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian. Pertama,menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat dalam ayat-ayat yang terangkum dalam satu surat saja. Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya dalam satu surat saja.
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat dalam ayat yang ditafsirkan tersebut.

D.     Kesimpulan
Dari pembahasan yang dilakukan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode penafsiran al-Qur’an.
2.      Metodologi tafsir akhirnya berkembang menjadi 4, yaitu Ijmali, Tahlili, Muqarin dan Maudhu’i, yang masing-masing mempunyai corak sendiri-sendiri yang tergantung pada 
3.      mufassirnya.


DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashiruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Al-Farmawi, Abd al-Hay, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Kairo: Al-Hadharah al-Arabiyah, 1977.
Al-Jauziyah  Ibn Qayyim, Belajar Mudah Ulum al-Qur’an, Jakarta:Lentera, 2002.
Al-Maraghi, Mustofa, Tafsir al-Maraghi Juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Al-Munawar, Said Aqil Husain, Membangun Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Al-Qatthan, Mana’, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Ainur Rafiq, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.
Shihab  Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan Pustaka, 1994.
Shihab, M.Quraish, Wawasan Tafsir Maudhu’I Atas Berbagai Persoalan, Bandung: Mizan Pustaka, 1997.
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung : Pustaka Setia).
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005).
x

Kamis, 20 November 2014

Pengertian nilai dan etika dalam pekerjaan sosial


A.     Defenisi Nilai dan Etika

Nilai (value) berasal dari bahasa Latin, yaitu valere yang artinya, “menjadi kuat”, atau menjadi terhormat
Soetarso  mengatakan bahwa nilai adalah kepercayaan, pilihan, atau asumsi tentang yang baik untuk manusia. Nilai bukan menyangkut keadaan dunia ini atau apa yang diketahui pada saat ini, tetapi bagaimanakah seharusnya atau sebaiknya dunia ini.
Namun, apabila dihubungkan dengan pekerjaan sosial, maka nilai yang dimaksud disini adalah seperangkat prinsip etik/moral yang fundamental dimana pekerja sosial harus berkomitmen. Misalnya, dalam pekerjaan sosial ada nilai untuk menghargai keunikan dan perbedaan, privacy, menjaga kerahasiaan, dan perlindungan (dalam Huda, 2009:135-136).
Jika nilai berbicara tentang sesuatu yang baik dan buruk maka etika (ethics) terkait benar (right) atau salah (wrong). Jadi, etika bersifat eksplisit dan konkret. Secara bahasa, etika memiliki pengertian yang sama dengan moralitas.
Menurut Keraf (1998:14), moralitas berasal dari kata Latin mos, (jamaknya mores) yang artinya ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Sedangkan etika sendiri berasal dari kata ethos (jamaknya ta etha) yang juga berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Perbedaannya adalah dalam konteks tertentu etika dapat dipahami secara lebih luas daripada moralitas. Sebab etika dapat dipahami sebagai filsafat moral, yaitu suatu ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma
B.     Sejarah dan Perkembangan
Dalam sejarah dan perkembangannya, nilai dalam pekerjaan sosial menapaki beberapa tahapan perkembangan (Reamer, 1999:5; dalam Huda, 2009:138-141):
1. Dimulai pada akhir abad XIX (Abad 19) suatu masa ketika pekerjaan sosial belum resmi disebut sebagai profesi. Selama masa ini pekerjaan sosial cenderung fokus tentang apa yang dianggap bermoral dan tidak bermoral dari seorang klien ketimbang fokus kepada moral atau etika profesi dan praktisi.

2. Tahapan ini dimuali pada awal abad XX suatu era progresif dalam pekerjaan sosial yang ditandai dengan berdirinya settlement house pada akhir abad XIX. Settlement house adalah suatu organisasi sosial yang bergerak lebih humanis untuk mereformasi lingkungan dan sistem daripada melakukan perbaikan terhadap manusianya. Nilai yang berkembang dalam tahapan ini pun bergeser dari masalah moral menyangkut klien kepada kebutuhan untuk melakukan reformasi sosial yang disesain untuk mengurangi berbagai permasalahan sosial. Misalnya, berkaitan dengan perumahan, perawatan kesehatan, sanitasi, pengangguran, kemiskinan, dan pendidikan.

3. Tahapan ini dimulai pada akhir tahun 1940-an dan awal 1950-an. Nilai yang berkembang pada masa ini cenderung mengedepankan nilai-nilai atau etika yang berkaitan dengan profesionalisme pekerjaan sosial. hal ini berbeda jika dibandingkan dengan masa sebelumnya yang cenderung menonjolkan nilai dan moralitas yang berkaitan dengan klien. Ini adalah pergeseran penting yang terjadi dalam sejarah perkembangan nilai dalam pekerjaan sosial. kondisi ini dapat dimengerti karena pada masa ini pekerjaan sosial telah menjadi profesi tersendiri, sehingga aktivitas pertolongan dilakukan dengan memegang pronsip-prinsip profesionalisme tertentu. Pada masa ini juga pekerjaan sosial muali mengadopsi kode etik, yaitu sebuah prinsip-prinsip nilai dan etika yang harus di pegang dan dipatuhi oleh para pekerja sosial. adapaun nilai-nilai yang berkembang pada periode ini misalnya, martabat dan kehormatan, keunikan, harga diri seseorang, self-determination, keadilan, dan persamaan.

4. Pada tahun 1960-an nilai yang berkembang pada masa ini menonjolkan konstruk etik tentang keadilan sosial, hak, dan reformasi. Setting kehidupan sosial dan ekonomi global yang makin kompleks menuntut pergeseran nilai yang harus ditegakkan oleh profesi pekerjaan sosial. Maka dari itu, nilai tentang persamaan sosial, hak kesejahteraan, hak asasi manusia, diskriminasi, dan penindasan menjadi tema-tema nilai dominan yang berkembang pada masa ini. Tetapi bukan berarti pergeseran nilai ini menghapuskan nilai-nilai yang ada pada tahapan sebelumnya, sebab sifat perkembangan nilai dalam hal ini adalah saling melengkapi satu sama lain.

C.     Peran Nilai dan Etika dalam Pekerjaan Sosial

Pentingnya peranan nilai dan etika dalam pekerjaan sosial menjadikan keduanya sebagai salah satu fondasi pengetahuan mendasar yang harus dimiliki oleh pekerja sosial. tidak mungkin aktivitas pertolongan dapat menjadi suatu profesi spesialis tanpa adanya pengetahuan bahwa menolong orang adalah nilai yang baik. Ketika menolong orang dianggap sebagai suatu nilai yang baik, maka secara etis perilaku digerakka untuk menolong seseorang yang membutuhkan karena itu adalah kebenaran. Keyakinan-keyakinan tentang sesuatu yang baik menuntut pekerja sosial untuk melakukannya karena perbuatan tersebut adalah benar. Sebaliknya, keyakinan-keyakinan mengenai sesuatu yang buruk mencegah pekerja sosial sehingga menghindarinya karena perbuatan tersebut adalah salah. Nilai dan etika pada akhirnya menjadi kunci petunjuk terhadapa perbuatan baik buruk atau benar salah. Keyakinan tentang nilai yang benar juga berperan sebagai petunjuk bagi pekerja sosial untuk memutuskan suatu perkara ketika terjadi dilema etis dalam melakukan intervensi sosial (dalam Huda, 2009:141-142).

             D.    Bentuk Nilai dan Etika dalam Pekerjaan Sosial

Ada bermacam-macam nilai dan etika dalam pekerjaan sosial. Namun, secara umum dapat dilihat dari kode etik NASW (National Association of Social Worker) antara lain (Reamer, 1999:26-27; dalam Huda, 2009:142-145):
1. Pelayanan (nilai)
Prinsip etiknya adalah pekerja sosial harus mengutamakan tujuan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan dan memusatkan pada permasalahan sosial. prinsip pelayanan diletakkan diatas kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan. Melayani klien baik individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat merupakan kewajiban dari pekerja sosial yang harus diutamakan. Tanpa prinsip pelayanan, pekerjaan sosial tidak memiliki aktivitas profesional
2. Keadilan Sosial (nilai)
Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial wajib untuk menentang ketidakadilan sosial. Tujuan inti pekerjaan sosial adalah menuju perubahan sosial yang lebih humanis dan mengarah kepada kesejahteraan sosial. ketidakadilan sosial maupun penindasan yang terjadi dalam masyarakat menjadi tanggung jawab pekerja sosial untuk mengubah keadaan tersebut.
3. Harkat dan Martabat Seseorang (nilai)
Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial menghormati harkat dan martabat seseorang. Pekerjaan sosial merupakan profesi yang melibatkan diri langsung baik dalam setting individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat. Oleh sebab itu, setting keterlibatan langsung ini menuntut dari para peker sosial untuk memiliki modal nilai yang menghargai orang lain dalam melakukan interaksi sosial.
4. Mementingkan Hubungan Kemanusiaan (nilai)
Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial mengakui dan mengutamakan hubungan kemanusiaan. Hubungan kemanusiaan (human relationship) adalah unsur yang sangat penting di dalam proses perubahan sosial. maka dari itu, menjunjung tinggi hubunga kemanusiaan dan kemasyarakatan harus dilakukan untuk mendukung perubahan sosial agar berjalan secara positif. Hubunga kemanusiaan adalah bagian dari proses pertolongan.
5. Integritas (nilai)
Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial harus mempunyai perilaku yang dapat dipercaya. Dalam batas tertentu, profesi pekerja sosial adalah seperti dokter, ‘mengobati’ dan ‘menyembuhkan’ individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang sedang sakit. Tanpa adanya perilaku yang dapat dipercaya, pekerja sosial tidal dapat menjalankan profesi tersebut dengan baik. Integritas setidaknya ditunjukkan dengan konsistensi pekerja sosial dengan misi profesional, nilai, dan prinsip etika, dan standar etika dalam aktivitas pertolonga yang dilakukannya.
6. Kompetensi (nilai)
Prinsip etik dari nilai ini adalah pekerja sosial harus mempraktikkan keahlian profesionalismenya dalam proses pertolongan yang dilakukan. Dalam hal ini pengetahuan dan skill yang memadai harus dimiliki oleh pekerja sosial untuk menunjang kompetensi dari pekerja sosial. tanpa adanya kompetensi tersebut menjadikan pekerja sosial tidak dapat profesional dan mencapai tujuannya dengan baik. Sehingga adanya pengetahuan dan keahlian yang memadai juga menjadi dasar kepemilikan yang sangat penting dalam profesi pekerjaan sosial.

Sumber:
Huda, Miftachul. 2009. Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Pengantar. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Unsur-Unsur Dalam Dakwah

Unsur-unsur dakwah adalah komponen-komponen yang terdapat dalam setiap kegiatan dakwah. Ada pun unsur-unsur tersebut Ialah:

A.     Da’i (Pelaku dakwah)

                 Nasaruddin Lathief mendevenisikan Bahwa dai adalah Muslim dan Muslimat yang menjadikan dakwah sebagai suatu amaliah pokok.
Seorang dai hendaklah mengetahui cara menyampaikan dakwah tentang Allah, alam semesta, dan kehidupan, sereta apa yang dihadirkan dakwah untuk memberi solusi, terhadap problema yang di hadapi manusia, juga cara-cara yang dihadirkannya untuk menjadikan agar pemikiran dan prilaku manusia tidak salah dan tidak melenceng .

B.      Mad’u (Penerima dakwah/Audient)

Mad’u adalah manusia yang menjadi sasaran dakwah, atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama islam maupun tidak; dengan kata lain manusia secara keseluruhan.Kepada manusia yang belum beragama islam adlah bertujuan untuk mengajak mereka mengikuti agama islam; sedangkan kepada orang-orang islam adalah untuk meningkatkan lagi kualitas iman, islam, dan ihsan.
Secara umum Al-Qur’an menjelaskan ada tiga tipe mad’u, yaitu : mukmin , kafir, dan munafik .

C.      Maddah (Materi Penyampaian Dakwah)

Maddah adlah isi pesan atau meteri yang di sampaikan Da’i kepada Mad’u. Secara umum materi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi empat masalah pokok, yaitu:

1.   Masalah akidah (Keimanan)
2. Masalah syariah (Hukum)
3. Masala muamalah (hubungan social)
4. Masalah Akhlak (Tingkah laku)

D.     Wasilah (Media Dakwah)

            Wasilah/media dakwah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan ajaran islam kepada umat, Hamzah Ya’qup membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu:

1. lisan (berpidato, ceramah, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya)
2. Tulisan (karya tulis,majalah, Surat kabar,dan sepanduk)
3. Lukisan (gambar dan Karikatur)
4. Audiovisual (televisi,radio, internet dan sebagainya)
5. Akhlak (melalui perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran islam yang secara    langsung dapat dilihat dan didengarkan oleh mad’u).

E.      Thariqah (Metode dakwah)

            Metode adalah suatu cara yang di tempuh atau cara yang ditentukan secara jelas untuk mencapai dan menyelesaikan suatu tujuan, rencana sistem, tata pikir manusia .
Metode dakwah adalah jalan atau cara yang di pakai juru dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah islam.
Secara garis besar ada tiga pokok metode dakwah, yaitu:

1. Bi al-Hikmah, yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah      dengan menitik beratkan pada kemampuan mereka, sehingga mudah di mengerti dan mereka tidak merasa bosan dan apa yang da’i sampaikan.
2. Mau’izatul Hasanah, yaitu berdakwah dengan memberikan nasihat-nasihat atau menyampaikan ajaran islam dengan rasa kasih sayang (lemah lembut), sehingga apa yang disampaikan dai tersebut bisa menyentuh hati si madu.
3. Mujadalah Billati Hiya Ahsan, yaitu berdakwah dengan cara bertukar fikiran atau tanya jawab. Dengan ini dai bisa mengetahui apa yang menjadi pertanyaan oleh sekelompok orang/individu tentang suatu masalah dalam kehidupan.

F.        Atsar (Efek)

            Dalam setiap aktifitas dakwah pasti akan menimbulkan efek atau reaksi. Artinya jika dakwah telah dilakukan oleh seorang dai dengan materi dakwah, Wasilah dan Thariqah tertentu maka akan timbul respon dan efek pada si Mad’u.
Atsar [efek] sering di sebut dengan Feedback [umpan balik] dari proses dakwah ini sering dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da’i. Kebanyakan mereka menganggap bahwa setelah berdakwah, maka selesailah dakwah,. Padahal, atsar sangat besar artinya dalam penentuan langkah-langkah dakwah berikutnya.

2.      HUBUNGAN ANTAR UNSUR-UNSUR DAKWAH

supaya proses dakwah berjalan dengan sempurna maka seorang dai harus menggunakan metode,materi serta Media yang tepat.
Seorang Dai harus mempunyai Materi yang sesuai dengan situasi dan kondisi mad’u, yang mana dalam Penyampaian materi, si Dai hendaklah menggunakan metode-metode pokok bagi seorang Dai.
Setelah Proses Penentuan materi serta Metode-metodenya terlaksana maka seorang Dai Bisa melaksanakan Dakwahnya melalui media, Baik itu Media lisan tulisan dan sebagainya. Apabila seorang dai telah melakukan tahapan-tahapan di atas maka yang terakhir adalah Proses Evaluasi terhadap dakwah yang di sampaikannya, bagaimana respon ataupun Feedback dari madu.
Evaluasi dan koreksi terhadap efek dakwah harus dilaksanakan secara radikal dan komprehensif, artinya tidak secara parsial atau setengah-setengah. Seluruh kompenen sistem (unsur-unsur) dakwah harus di evaluasi secara keseluruhan. Para dai harus mempunyai jiwa terbuka untuk melakukan pembaharuan dan perubahan. Jika proses evaluasi telah menghasilkan beberapa keputusan, maka segera diikuti dengan tindakan korektif (corrective action). Dan jika proses ini telah dapat terlaksana dengan baik, maka terciptalah mekanisme perjuangan dalam bidang dakwah, dan inilah yang di sebutkan dalam agama dengan sebutan ikhtiar insani .
Jadi, dalam proses penyampaian ajaran agama islam maka si dai harus sangat memperhatikan unsur-unsur dakwah guna mewujudkan efektifitas dalam penyampaian supaya si madu bisa menerima dan mengaplikasikan ajaran-ajaran agama yang telah di sampaikan oleh si Dai tersebut dalam kehidupannya.

PENUTUP
2. Kesimpulan


Unsur-unsur dakwah ialah suatu komponen atau bagian yang terdapat dalam setiap kegiatan dakwah.hubungan antar unsur-unsur tersebut sangat menentukan efektifitas dan Efisiensi dalam penyampain dakwah.
Unsur-unsur Dakwah:
Da’i, Mad’u, Maddah, Wasilah, Thariqah, dan Atsar.

Kesemuanya ini sangat erat hubungannya dalam proses penyampaian dakwah. Apabila salah satu dari komponen tersebut tidak di perhatikan maka prose penyampaian dakwah tidak akan efektif dan sempurna.